Komisi Kebudayaan AIPI dan UIN AMSA Gelar Diskusi Terpumpun Seri 6

UIN AMBON, --- Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Universitas Islam Negeri (UIN) A.M. Sangadji Ambon (AMSA) menggelar Diskusi Terpumpun Seri 6, yang berlangsung di Gedung Auditorium UIN Ambon, Selasa, 23 September 2025.

Diskusi dengan tema " Mendayagunakan Ekspresi dan Laku Budaya untuk Solidaritas Sosial dan Demokrasi", yang dimoderatori Prof. Izak Y.M. Lattu, Ph.D dari Komisi Kebudayaan AIPI ini, menghadirkan sebelas narasumber dengan dua pemantik yakni Prof. Melani Budianta, Ph.D dari Komisi Kebudayaan AIPI, dan Sumanto Al Qurtuby, Ph.D dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Abidin Wakano, dalam sambutannya mengaku bangga dan gembira atas kepercayaan BPIP dan Komisi Kebudayaan AIPI, yang memilih UIN Ambon sebagai tuan rumah penyelenggara Diskusi Terpumpun Seri 6, yang seri 5-nya diselenggarakan di Universitas Hasanuddin Makassar.

Dikatakan Rektor, kondisi segregasi yang tengah melanda bangsa di semua sektor, tak saja di dunia nyata, tapi juga media sosial harus segera dipangkas. Diakui Rektor, segregasi di Maluku telah menjadi suatu keniscayaan di tengah kehidupan sosial masyarakat. Karena, masyarakat di Maluku tidak dapat dihindarkan dari kehidupan dalam satu komunitas beragama.

Melihat realita ini, segregasi bagi masyarakat Maluku telah menjadi suatu kenisyacaan dalam kehidupan yang harus dihormati, dijunjung dan dijaga. Di tengah itu, Rektor berharap agar diskusi yang menghadirkan para narasumber dengan latar ilmu dan pengalaman yang beragam di bidang perdamaian, dapat melahirkan konsep untuk membangun kebergaman sosial di Maluku yang lebih baik di masa mendatang.

Ia menekankan pentingnya menjadikan kegiatan ini sebagai momentum untuk mewariskan budaya membangun literasi tentang kehidupan damai. Nilai persaudaraan diteguhkan sebagai bagian dari upaya mengatasi segregasi sosial, politik identitas, dan perpecahan di masyarakat.

Rektor menegaskan bahwa segregasi yang ada di Maluku harus diterima sebagai fakta sejarah, namun dapat dijawab dengan memperkuat ekspresi budaya yang menyatukan. Forum ini diharapkan menjadi ruang akademisi, praktisi, budayawan, dan media untuk bersama-sama merajut reintegrasi sosial.

Sambutan rektor diakhiri dengan kutifan kearifan lokal “potong di kuku rasa di daging” yang bermakna persaudaraan mendalam, sejalan dengan ajaran agama untuk mencintai sesama sebagaimana mencintai diri sendiri.

Sementara Ketua Komisi Kebudayaan AIPI, Prof. Dr. M. Amin Abdullah, dalam sambutannya mengaku bahagia dapat kembali menginjakkan kakinya di UIN Ambon.

Prof. Amin membuka dengan mengisahkan pengalamannya berada di UIN Ambon dulu masih STAIN Ambon pasca konflik 1999. Diakuinya, Kota Ambon menjadi kota kedua setelah Yogyakarta, yang menjadi kota tempat tinggalnya. Bersama UIN Ambon, ia banyak memberikan kuliah sejak kampus ini masih dengan status sekolah tinggi, hingga kini telah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) A.M. Sangadji Ambon, dan masih diberikan kesempatan untuk berada kembali di kampus nun hijau ini.

Sejak pertama di daerah ini, Prof Amin telah melihat Ambon dan Maluku secara umum sebagai laboratorium perdamaian. Ia juga sepaham dengan karya yang dibangun perguruan tinggi, terutama UIN Ambon dalam memutus segregasi sosial masyarakat, yang dimulai dari dunia pendidikan. Salah satunya, dengan memperkuat hubungan pela dan gandong antar perguruan tinggi, seperti yang dilakukan oleh UIN Ambon dengan UKIM dalam hubungan Pela, dan UIN Ambon dengan IAKN Ambon dalam hubungan Gandong.

Dikatakan, segregasi masyarakat di Maluku telah menjadi sunnatullah. Semua terjadi karena sebab, dan masyarakatnya sudah saling terima untuk sama-sama menjalani hidup dalam keberagaman. Suatu hal yang sungguh menjadi prestasi kehidupan sosial beragama di Indonesia. Tak salah, kalau Maluku dinobatkan menjadi Laboratorium Perdamaian, ungkap Prof. Amin.

Selanjutnya, bagaimana masyarakat Maluku menjaga agar di tengah segregasi ini, masyarakat tetap hidup rukun dan damai.

Dikatakan, acara ini sebenarnya merupakan bagian dari ekspresi budaya secara akademik. Karena, ketika terjadi konflik baik konflik sosial maupun konflik agama, maka budaya dapat mengambil peran dalam menengahi konflik yang tengah terjadi.

Kerjasama ini, kata dia, tidak hanya dengan UIN Ambon saja, tapi juga dengan IAKN Ambon. Kegiatannya harus diadakan di kedua kampus keagamaan ini, sebagai bagian terpenting untuk mencegah timbulnya segregasi di dunia akademik.

Menurut Prof Amin, diskusi ini selanjutnya akan melahirkan buku untuk menjadi referensi kepada masyakarat di Maluku dan Indonesia secara umum.

Gubernur Maluku melalui Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra, Djalaludin Salampessy mengakui, Diskusi Terpumpun yang membicarakan perdamaian masyarakat ini, sejalan dengan visi dan misi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku.

Ia berharap, diskusi ini dapat melahirkan konsep dan gagasan yang konstruktif baik kepada masyarakat maupun pemerintah, dalam mengimplementasikan kehidupan sosial masyarakat yang aman dan damai, untuk mendukung kemajuan pembangunan secara nasional maupun Maluku secara khususnya.

Diskusi ini menghadirkan narasumber : Prof. Dr. Hasbollah Toisuta, Zakiyah Samal, Hanok Saiyaraman, Ayu Nurdin, Rance Alfons, Yusnita Tiakoly, Piet Wairisal, Dr. Eka Dahlan Uar, M.Si., Farid Latif, Ruth Saiya, serta Zairin Salampessy. (HUMAS)